TUGAS : Analisis
Kebijakan Kesehatan
DOSEN : Prof. DR. Asiah Hamzah,
Dra, MA
KEBIJAKAN
TENTANG JAMPERSAL, ROKOK,
&
BOK ( BIAYA OPERASIONAL KESEHATAN )
OLEH
ADITHIA BUDIMAN
(TUBEL)
NIM : K11111631
KELAS : A
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2011
1. KEBIJAKAN
ROKOK
Rokok adalah silinder dari kertas berukuran panjang
antara 70 hingga 120 mm (bervariasi tergantung negara) dengan diameter sekitar
10 mm yang berisi daun-daun tembakau yang telah dicacah. Rokok dibakar pada
salah satu ujungnya dan dibiarkan membara agar asapnya dapat dihirup lewat
mulut pada ujung lain. Sejarahnya Manusia di dunia yang merokok untuk pertama
kalinya adalah suku bangsa Indian di Amerika, untuk keperluan ritual seperti
memuja dewa atau roh. Pada abad 16, Ketika bangsa Eropa menemukan benua
Amerika, sebagian dari para penjelajah Eropa itu ikut mencoba-coba menghisap
rokok dan kemudian membawa tembakau ke Eropa. Kemudian kebiasaan merokok mulai
muncul di kalangan bangsawan Eropa. Tapi berbeda dengan bangsa Indian yang
merokok untuk keperluan ritual, di Eropa orang merokok hanya untuk kesenangan
semata-mata. Abad 17 para pedagang Spanyol masuk ke Turki dan saat itu
kebiasaan merokok mulai masuk negara-negara Islam. Ada 4000 zat yang terkandung
didalam rokok tapi zat yang utama ada 3 macam yaitu tar,nikotoin,dan co Jumlah
perokok di seluruh dunia terus meningkat. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO),
dalam laporan terbarunya medio pekan ini menyebutkan, \'epidemi tembakau\'
terus meningkat dan diperkirakan menelan korban 1 miliar jiwa akhir abad ini
jika kebiasaan merokok dibiarkan bergulir. \"Kami memiliki solusi untuk
mengatasi epidemik tembakau global yang mengancam hidup 1 miliar orang selama
abad ini. Mengancam kaum lelaki, perempuan, dan anak-anak,\" ujar Direktur
Jenderal WHO Dr Margaret Chan dalam kata pengantarnya di laporan itu, Jumat
(8/2).
Jakarta juga telah memberlakukan larangan merokok di
tempat umum. Tapi, kurang tegas dan konsistennya penegakan hukum menjadikan
kebijakan itu sia-sia belaka. Kini, larangan itu tak dianggap lagi. Kebijakan
tak sungguh-sungguh juga sudah dilakukan di arena kompetisi olahraga seperti di
ajang balap mobil Formula 1. Tentu saja kebijakan ini tak efektif untuk
mengurangi atau bahkan menghentikan kebiasaan merokok. Apalagi, kehidupan
tim-tim olahraga atau event olahraga di banyak negara justru disokong
perusahaan rokok. Jika mereka bertindak keras terhadap perusahaan rokok,
bersiaplah tim-tim itu istirahat karena bakal kekurangan dana. Karenanya, WHO
pun mendesak pemerintahan dunia untuk mengadopsi enam \'kebijakan pengendali
rokok\ menaikkan pajak dan harga rokok; melarang iklan, promosi dan sponsor
rokok; melindungi perokok pasif; memperingatkan masyarakat soal bahaya merokok;
membantu mereka yang ingin berhenti merokok; memonitor penggunaan rokok untuk
memahami dan menghapus epidemi itu Sesungguhnya, mengurangi atau menghentikan
kebiasaan merokok tak hanya bergantung pada kebijakan pemerintah. Kesadaran
diri para perokok juga menentukan. Ancaman 1 miliar jiwa bakal jadi korban
rokok di akhir abad ini, tampaknya, belum terlalu digubris.
Masalah rokok memang menjadi dilema di negeri ini.
Bagaimana tidak, produk “pembunuh” tersebut menghidupi jutaan orang dan menjadi
salah satu sumber pendapatan negara terbesar. Tapi barangkali kita perlu meniru
Pemerintah Jepang yang berani menaikkan pajak tembakau untuk meningkatkan
pendapatan negara sekaligus mengurangi kebiasaan merokok.
2. KEBIJAKAN
JAMPERSAL (JAMINAN PERSALINAN)
Program
jampersal adalah program pemerintah untuk menekan angka kematian, baik bagi ibu
melahirkan, maupun anak yang dilahirkan.
Kematian
ibu yang melahirkan di sebabkan lantaran penyakit darah tinggi, gula darah,
serta akibat pendarahan.
Belum lama,
pemerintah meluncurkan Jaminan Persalinan (Jampersal) untuk membantu proses
persalinan ibu kurang mampu. Kenyataannya, bantuan cuma-cuma ini tidak mengenai
sasaran yang tepat.
Ibu-ibu
bersalin di seluruh Indonesia mendapatkan pelayanan Jampersal secara gratis,
baik dari keluarga miskin maupun keluarga kaya. Syaratnya, cukup membawa KTP
asli. Asalkan, mereka mau dirawat di kelas III rumah sakit pemerintah dan tidak
mempunyai jaminan kesehatan.
Kehadiran Jampersal dimaksudkan untuk menekan angka kematian ibu dan bayi karena ketiadaan biaya. kebijakan Jampersal bagi seluruh ibu hamil akan ditindaklanjuti dengan menjadi peserta KB agar tidak hamil lagi. Nantinya, kebijakan tersebut diharapkan dapat menurunkan angka rata-rata kelahiran total setiap wanita 2,6 per wanita menjadi 2,1 per wanita.
Kehadiran Jampersal dimaksudkan untuk menekan angka kematian ibu dan bayi karena ketiadaan biaya. kebijakan Jampersal bagi seluruh ibu hamil akan ditindaklanjuti dengan menjadi peserta KB agar tidak hamil lagi. Nantinya, kebijakan tersebut diharapkan dapat menurunkan angka rata-rata kelahiran total setiap wanita 2,6 per wanita menjadi 2,1 per wanita.
Sayang,
berdasarkan data di lapangan, Jampersal ternyata juga menarik minat ibu yang berkecukupan secara materi. “Saya sering
kali melihat ibu yang tengah mengantre Jampersal termasuk mereka yang
berkecukupan. Mereka mengantre sambil BBM-an (BlackBerry Messenger),” ungkap DR
Sonny Harry B Harmadi selaku Kepala Lembaga Demografi FEUI saat konferensi pers
“Indonesia MDG’s Awards 2011” di kantor KPAI, Jalan Teuku Umar, Menteng, belum
lama ini.
Ditambahkan
Gunawan, sangat tidak tepat sasaran jika ibu yang berkecukupan bisa “lolos” dan
menikmati layanan Jampersal. “Bisa saja sambil mengantre mereka mem-posting
status di jejaring sosial. Mereka memanfaatkan Jampersal di mana yang
seharusnya bisa lebih difokuskan bagi ibu yang kurang mampu,” tandasnya.
Lewat
Jampersal, pemerintah mengarahkan pelayanan KB kepada kontrasepsi jangka
panjang, seperti IUD, susuk, MOP, dan MOW. Alasannya, kontrasepsi jangka
panjang lebih efektif dan lebih baik dalam menurunkan fertilitas dibanding kontrasepsi
yang terpotong-potong seperti pil di mana kemungkinan lupa bisa terjadi.
Mengingat
angka kematian ibu dan anak saat melahirkan, kini masih cukup tinggi. Karena
itulah pemerintah melakukan inovasi dengan program ini, tuturnya.
3. KEBIJAKAN
BOK
Bantuan Operasional Kesehatan (BOK)
Adalah bantuan dana dari pemerintah melalui Kementerian Kesehatan dalam
membantu pemerintahan kabupaten/kota melaksanakan pelayanan kesehatan sesuai
Standar Pelayanan Minimal (SPM) Bidang Kesehatan menuju Millennium
Development Goals (MDGs) dengan meningkatkan kinerja Puskesmas dan
jaringannya serta Poskesdes dan Posyandu dalam menyelenggarakan pelayanan
kesehatan promotif dan preventif.
Menurut Undang-Undang Dasar 1945 pasal 28 H ayat 1, kesehatan merupakan
hak asasi manusia dan investasi untuk keberhasilan pembangunan bangsa. Untuk
itu perlu diselenggarakan pembangunan kesehatan secara menyeluruh agar terwujud
masyarakat yang sehat, mandiri dan berkeadilan. Dalam pasal 34 disebutkan bahwa
negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan
fasilitas pelayanan umum yang layak yang salah satunya diwujudkan dengan
pembangunan Puskesmas dan jaringannya.
Puskesmas dan jaringannya sebagai fasilitas pelayanan kesehatan terdepan
yang bertanggung jawab di wilayah kerjanya, saat ini keberadaannya sudah cukup
merata. Sampai bulan Desember 2010 terdapat 8.967 Puskesmas dengan 22.273 Pustu
serta 32.887 Poskesdes dan 266.827 Posyandu. Ke depan berbagai fasilitas
pelayanan kesehatan ini akan semakin ditingkatkan baik dari segi jumlah,
pemerataan, dan kualitasnya.
Namun
demikian, masih terdapat berbagai masalah yang dihadapi oleh Puskesmas dan
jaringannya dalam upaya meningkatkan status kesehatan masyarakat di wilayah
kerjanya, antara lain adalah keterbatasan biaya operasional untuk pelayanan
kesehatan. Beberapa pemerintah daerah mampu mencukupi kebutuhan biaya
operasional kesehatan Puskesmas di daerahnya. Di saat yang sama, tidak sedikit
pula pemerintah daerah yang masih sangat terbatas dalam hal alokasi untuk biaya
operasional Puskesmas di daerahnya. Sementara itu, masih terjadi disparitas
antar berbagai determinan sosial di masyarakat yang meliputi perbedaan antar
wilayah, antar pendidikan masyarakat, antar sosial ekonomi masyarakat dan
determinan sosial lainnya.
Output dari Kerangka Acuan Kerja (KAK) yang dibuat hanya berisi tentang
pernyataan-pertanyaan kualitatif bukan kuantitatif misalnya saja Output dari
kegiatan penjaringan pemeriksaan Kehamilan. Output yang sering ditulis oleh
petugas Puskesmas (pengelola KIA) adalah meningkatkan pemeriksaaan kehamilan.
Inilah pernyataan output yang bersifat kualitatif yang tidak dapat menunjukkan
hasil langsung dari penjaringan pemeriksaan kehamilan. Seharusnya outputnya
adalah 10 ibu hamil dari 20 ibu hamil yang harus memeriksakan kehamilan
triwulan keduanya dapat terjaring, diperiksa dan mendapatkan pelayanan kesehatan kehamilan.
Dalam hubungannya dengan pencapaian Standar Pelayanan Minimal Kegiatan
Kesehatan, Puskesmas masih sedikit mengalami kesulitan dalam menghubungkannya
dengan kegiatan-kegiatan pencapaian standar pelayanan minimal kegiatan
kesehatan tersebut. Misalnya saja kegiatan-kegiatan kunjungan ke Posyandu,
semua posyandu yang ada di wilayah puskesmasnya mendapat biaya transport
petugas, padahal kalau diperhatikan tidak harus semua posyandu tersebut
mendapat biaya transport petugas, karena bulan-bulan sebelum posyandu dapat
dijangkau dengan mudah tampa membutuhkan biaya transportasi.
Permasalahan lainnya adalah POA dan penjabarannya hanya dibuat oleh satu
petugas pengelola, sehingga secara tehnis ditemukan banyak kekurangan terutama
yang mengakut proses kegiatannya. Dan masih terpikirnya petugas puskesmas bahwa
kegiatan dilaksanakan untuk menggunakan (menghabiskan) dana yang telah
dibagikan, mereka petugas tidak berpikir
bahwa dana harus dipergunakan untuk melaksanakan kegiatan dengan baik dan benar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar