Total Tayangan Halaman

Senin, 16 April 2012

KEBIJAKAN TENTANG JAMPERSAL, ROKOK, & BOK ( BIAYA OPERASIONAL KESEHATAN )


TUGAS       :  Analisis Kebijakan Kesehatan
DOSEN       :  Prof. DR. Asiah Hamzah, Dra, MA
 


KEBIJAKAN TENTANG JAMPERSAL, ROKOK,
& BOK ( BIAYA OPERASIONAL KESEHATAN )
      

                                                                                                                              
OLEH
ADITHIA BUDIMAN  (TUBEL)
NIM    :   K11111631
KELAS : A



FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2011



1.    KEBIJAKAN ROKOK
Rokok adalah silinder dari kertas berukuran panjang antara 70 hingga 120 mm (bervariasi tergantung negara) dengan diameter sekitar 10 mm yang berisi daun-daun tembakau yang telah dicacah. Rokok dibakar pada salah satu ujungnya dan dibiarkan membara agar asapnya dapat dihirup lewat mulut pada ujung lain. Sejarahnya Manusia di dunia yang merokok untuk pertama kalinya adalah suku bangsa Indian di Amerika, untuk keperluan ritual seperti memuja dewa atau roh. Pada abad 16, Ketika bangsa Eropa menemukan benua Amerika, sebagian dari para penjelajah Eropa itu ikut mencoba-coba menghisap rokok dan kemudian membawa tembakau ke Eropa. Kemudian kebiasaan merokok mulai muncul di kalangan bangsawan Eropa. Tapi berbeda dengan bangsa Indian yang merokok untuk keperluan ritual, di Eropa orang merokok hanya untuk kesenangan semata-mata. Abad 17 para pedagang Spanyol masuk ke Turki dan saat itu kebiasaan merokok mulai masuk negara-negara Islam. Ada 4000 zat yang terkandung didalam rokok tapi zat yang utama ada 3 macam yaitu tar,nikotoin,dan co Jumlah perokok di seluruh dunia terus meningkat. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), dalam laporan terbarunya medio pekan ini menyebutkan, \'epidemi tembakau\' terus meningkat dan diperkirakan menelan korban 1 miliar jiwa akhir abad ini jika kebiasaan merokok dibiarkan bergulir. \"Kami memiliki solusi untuk mengatasi epidemik tembakau global yang mengancam hidup 1 miliar orang selama abad ini. Mengancam kaum lelaki, perempuan, dan anak-anak,\" ujar Direktur Jenderal WHO Dr Margaret Chan dalam kata pengantarnya di laporan itu, Jumat (8/2).
Jakarta juga telah memberlakukan larangan merokok di tempat umum. Tapi, kurang tegas dan konsistennya penegakan hukum menjadikan kebijakan itu sia-sia belaka. Kini, larangan itu tak dianggap lagi. Kebijakan tak sungguh-sungguh juga sudah dilakukan di arena kompetisi olahraga seperti di ajang balap mobil Formula 1. Tentu saja kebijakan ini tak efektif untuk mengurangi atau bahkan menghentikan kebiasaan merokok. Apalagi, kehidupan tim-tim olahraga atau event olahraga di banyak negara justru disokong perusahaan rokok. Jika mereka bertindak keras terhadap perusahaan rokok, bersiaplah tim-tim itu istirahat karena bakal kekurangan dana. Karenanya, WHO pun mendesak pemerintahan dunia untuk mengadopsi enam \'kebijakan pengendali rokok\ menaikkan pajak dan harga rokok; melarang iklan, promosi dan sponsor rokok; melindungi perokok pasif; memperingatkan masyarakat soal bahaya merokok; membantu mereka yang ingin berhenti merokok; memonitor penggunaan rokok untuk memahami dan menghapus epidemi itu Sesungguhnya, mengurangi atau menghentikan kebiasaan merokok tak hanya bergantung pada kebijakan pemerintah. Kesadaran diri para perokok juga menentukan. Ancaman 1 miliar jiwa bakal jadi korban rokok di akhir abad ini, tampaknya, belum terlalu digubris.
Masalah rokok memang menjadi dilema di negeri ini. Bagaimana tidak, produk “pembunuh” tersebut menghidupi jutaan orang dan menjadi salah satu sumber pendapatan negara terbesar. Tapi barangkali kita perlu meniru Pemerintah Jepang yang berani menaikkan pajak tembakau untuk meningkatkan pendapatan negara sekaligus mengurangi kebiasaan merokok.
2.    KEBIJAKAN JAMPERSAL (JAMINAN PERSALINAN)
Program jampersal adalah program pemerintah untuk menekan angka kematian, baik bagi ibu melahirkan, maupun anak yang dilahirkan.
Kematian ibu yang melahirkan di sebabkan lantaran penyakit darah tinggi, gula darah, serta akibat pendarahan.
Belum lama, pemerintah meluncurkan Jaminan Persalinan (Jampersal) untuk membantu proses persalinan ibu kurang mampu. Kenyataannya, bantuan cuma-cuma ini tidak mengenai sasaran yang tepat.
Ibu-ibu bersalin di seluruh Indonesia mendapatkan pelayanan Jampersal secara gratis, baik dari keluarga miskin maupun keluarga kaya. Syaratnya, cukup membawa KTP asli. Asalkan, mereka mau dirawat di kelas III rumah sakit pemerintah dan tidak mempunyai jaminan kesehatan.

Kehadiran Jampersal dimaksudkan untuk menekan angka kematian ibu dan bayi karena ketiadaan biaya. kebijakan Jampersal bagi seluruh ibu hamil akan ditindaklanjuti dengan menjadi peserta KB agar tidak hamil lagi. Nantinya, kebijakan tersebut diharapkan dapat menurunkan angka rata-rata kelahiran total setiap wanita 2,6 per wanita menjadi 2,1 per wanita.

Sayang, berdasarkan data di lapangan, Jampersal ternyata juga menarik minat ibu yang berkecukupan secara materi. “Saya sering kali melihat ibu yang tengah mengantre Jampersal termasuk mereka yang berkecukupan. Mereka mengantre sambil BBM-an (BlackBerry Messenger),” ungkap DR Sonny Harry B Harmadi selaku Kepala Lembaga Demografi FEUI saat konferensi pers “Indonesia MDG’s Awards 2011” di kantor KPAI, Jalan Teuku Umar, Menteng, belum lama ini.
Ditambahkan Gunawan, sangat tidak tepat sasaran jika ibu yang berkecukupan bisa “lolos” dan menikmati layanan Jampersal. “Bisa saja sambil mengantre mereka mem-posting status di jejaring sosial. Mereka memanfaatkan Jampersal di mana yang seharusnya bisa lebih difokuskan bagi ibu yang kurang mampu,” tandasnya.
Lewat Jampersal, pemerintah mengarahkan pelayanan KB kepada kontrasepsi jangka panjang, seperti IUD, susuk, MOP, dan MOW. Alasannya, kontrasepsi jangka panjang lebih efektif dan lebih baik dalam menurunkan fertilitas dibanding kontrasepsi yang terpotong-potong seperti pil di mana kemungkinan lupa bisa terjadi.
Mengingat angka kematian ibu dan anak saat melahirkan, kini masih cukup tinggi. Karena itulah pemerintah melakukan inovasi dengan program ini, tuturnya.
3.    KEBIJAKAN BOK
Bantuan Operasional Kesehatan (BOK)
Adalah bantuan dana dari pemerintah melalui Kementerian Kesehatan dalam membantu pemerintahan kabupaten/kota melaksanakan pelayanan kesehatan sesuai Standar Pelayanan Minimal (SPM) Bidang Kesehatan menuju Millennium Development Goals (MDGs) dengan meningkatkan kinerja Puskesmas dan jaringannya serta Poskesdes dan Posyandu dalam menyelenggarakan pelayanan kesehatan promotif dan preventif.
Menurut Undang-Undang Dasar 1945 pasal 28 H ayat 1, kesehatan merupakan hak asasi manusia dan investasi untuk keberhasilan pembangunan bangsa. Untuk itu perlu diselenggarakan pembangunan kesehatan secara menyeluruh agar terwujud masyarakat yang sehat, mandiri dan berkeadilan. Dalam pasal 34 disebutkan bahwa negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak yang salah satunya diwujudkan dengan pembangunan Puskesmas dan jaringannya.
Puskesmas dan jaringannya sebagai fasilitas pelayanan kesehatan terdepan yang bertanggung jawab di wilayah kerjanya, saat ini keberadaannya sudah cukup merata. Sampai bulan Desember 2010 terdapat 8.967 Puskesmas dengan 22.273 Pustu serta 32.887 Poskesdes dan 266.827 Posyandu. Ke depan berbagai fasilitas pelayanan kesehatan ini akan semakin ditingkatkan baik dari segi jumlah, pemerataan, dan kualitasnya.
Namun demikian, masih terdapat berbagai masalah yang dihadapi oleh Puskesmas dan jaringannya dalam upaya meningkatkan status kesehatan masyarakat di wilayah kerjanya, antara lain adalah keterbatasan biaya operasional untuk pelayanan kesehatan. Beberapa pemerintah daerah mampu mencukupi kebutuhan biaya operasional kesehatan Puskesmas di daerahnya. Di saat yang sama, tidak sedikit pula pemerintah daerah yang masih sangat terbatas dalam hal alokasi untuk biaya operasional Puskesmas di daerahnya. Sementara itu, masih terjadi disparitas antar berbagai determinan sosial di masyarakat yang meliputi perbedaan antar wilayah, antar pendidikan masyarakat, antar sosial ekonomi masyarakat dan determinan sosial lainnya.
Output dari Kerangka Acuan Kerja (KAK) yang dibuat hanya berisi tentang pernyataan-pertanyaan kualitatif bukan kuantitatif misalnya saja Output dari kegiatan penjaringan pemeriksaan Kehamilan. Output yang sering ditulis oleh petugas Puskesmas (pengelola KIA) adalah meningkatkan pemeriksaaan kehamilan. Inilah pernyataan output yang bersifat kualitatif yang tidak dapat menunjukkan hasil langsung dari penjaringan pemeriksaan kehamilan. Seharusnya outputnya adalah 10 ibu hamil dari 20 ibu hamil yang harus memeriksakan kehamilan triwulan keduanya dapat terjaring, diperiksa dan  mendapatkan pelayanan kesehatan kehamilan.
Dalam hubungannya dengan pencapaian Standar Pelayanan Minimal Kegiatan Kesehatan, Puskesmas masih sedikit mengalami kesulitan dalam menghubungkannya dengan kegiatan-kegiatan pencapaian standar pelayanan minimal kegiatan kesehatan tersebut. Misalnya saja kegiatan-kegiatan kunjungan ke Posyandu, semua posyandu yang ada di wilayah puskesmasnya mendapat biaya transport petugas, padahal kalau diperhatikan tidak harus semua posyandu tersebut mendapat biaya transport petugas, karena bulan-bulan sebelum posyandu dapat dijangkau dengan mudah tampa membutuhkan biaya transportasi.
Permasalahan lainnya adalah POA dan penjabarannya hanya dibuat oleh satu petugas pengelola, sehingga secara tehnis ditemukan banyak kekurangan terutama yang mengakut proses kegiatannya. Dan masih terpikirnya petugas puskesmas bahwa kegiatan dilaksanakan untuk menggunakan (menghabiskan) dana yang telah dibagikan, mereka petugas  tidak berpikir bahwa dana harus dipergunakan untuk melaksanakan kegiatan dengan baik dan benar



Tidak ada komentar:

Posting Komentar